MENU UTAMA

Sunday, April 29, 2007

Solah Bawane Manungso 2





hentakan kakimu, lesakan keresahanmu (dangdut kungfu dewi sansan)(teater Turak Perancis).
Dalam keresahan Gibran bertanya, "siapa yang melahirkan kebahagian, dialah kedukaan. Keduanya iring-mengiring bagai sepasang pengantin. Mampukah kita menyirnakan duka? tidak.... sekali duka lenyap sirna pulalah kita. Kita hanya mampu mendorong-dorong keresahan, kita hanya mampu memagut-magut duka tanpa pernah benar-benar meniadakannya. Keabadian bersemayam didalam rasa dan rasa tak pernah benar-benar menjadi suatu bentuk. rasa resah, rasa duka, rasa bahagia ada karena diadakan dan begitu saja dengan mudah berganti kesirnaan,dimanakah keabadian itu"......?
Tapi paling tidak angin telah mengabarkan adanya keabadian. Ketika angin bertiup menebarkan daun-daun Arrasy, keabadian telah tertulis di daun-daun yang di terbangkan angin ketika lena dalam kepenatan kita. Bukankah Kita yang mesti menangkap dan memiaranya?
Kanak-kanak tak pernah mencarinya, mereka begitu asyik menikmatinya. Berbahagialah orang yang mencoba kembali ke masa kanak-kanak. Bukankah Muhamad juga menyayangi bocah-bocah?

Lanjut......

Solah Bawane Manungso 1



orang-orang resah diatas panggung, orang-orang resah di bawah panggung, berteriak nyaris serak. Berebut simpati, mengkhianati harga diri. Dari atas panggung teruuus menyumpal mulut-mulut penonton dengan kekaguman yang menganga, dari bawah panggung seakan menggeliat, menggoyang bagai liukan ombak keinginan menelan mentah-mentah semua yang di lihatnya.
seribu duka terpedaya, seribu luka terlupa, seribu kata memesona.
Pulang kerumah dengan letih, mata merah nafas naga...
Esok kembali terpenjara, esok kembali terpedaya, esok kembali meretas bahagia, kita kembali menjalani amanahnya.

Lanjut......

Potret Pendidikan Masyarakat Marjinal

Pendidikan Anak Usia Dini Tanggung Jawab Siapa?

Pendidikan anak usia dini perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak, baik dari keluarga, lingkungan maupun pemerintah. Karena bagaimanapun, masa kanak-kanak sangat berpengaruh pada proses tumbuh kembang karakter, kepribadian dan pertumbuhan jasmani si anak. Merujuk pada Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Anak Usia Dini (RPP PAUD) yang mengatur pendidikan usia dini salah satunya bertujuan untuk mengembangkan potensi kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, dan sosial peserta didik pada masa emas pertumbuhannya dalam lingkungan bermain yang edukatif dan menyenangkan.
Tapi sayang dalam pelaksanaannya pendidikan anak sejak masih dalam kandungan sampai usia enam tahun ini, sering terabaikan. Banyak orang tua, justru menganggap pendidikan taman kanak-kanak (TK) tidak penting, faktor ekonomi, juga sering menjadi pembenar untuk tidak memasukan anak-anaknya di bangku TK. Sekolah-sekolah TK tersebut memang sudah banyak bertebaran di berbagai kawasan elit sampai kawasan kumuh. Dari yang berdana besar sampai yang menggunakan anggaran seadanya sehingga harus kembang kempis untuk membiayai operasionalnya. Sekolah-sekolah taman kanak-kanak tersebut di kelola swasta sebagai penyelenggaranya.
Dengan alasan tingginya biaya operasional, tidak sedikit pihak pengelola menetapkan uang SPP dengan mahal, dan sebagai kompensasinya pihak sekolah memberikan akses layanan pendidikan dengan standarisasi mutu sesuai dengan akreditasi, begitu juga dengan penyediaan sarana dan prasarana yang memadai. Tentu adalah sebuah kewajaran. Namun ternyata ada juga sekolah yang masih berjalan dengan ala kadarnya.
Di tengah kepadatan penduduk, kawasan dukuh kupang barat, sebuah sekolah TK menempati balai RT berukuran 3x5meter yang terbuat dari gedhek. Siang itu Rabu 04/04/07, sebanyak 35 murid sedang belajar berhitung bersama ibu guru Rusiyah. Seperti sedang mengajari anaknya sendiri, perempuan berputra dua ini sesekali harus mendatangi meja murid-muridnya untuk membetulkan jari-jari tangan mungil yang dijadikan alat bantu untuk menghitung. Tak jarang juga perempuan asli Kebumen yang mengaku hanya lulusan SMEA ini harus berteriak di antara celoteh dan tangis murid-muridnya. Pekerjaan sosial ini telah dilakukan sejak empat tahun lalu bersama suaminya Sukirno(34 tahun).
Sukirno yang akrab dipanggil pak guru oleh warga sekitar ini sedang sibuk menambal ban motor. “ya, beginilah mas pekerjaan sampingan saya untuk makan sehari-hari, tadi ya ngajar, terus saya tinggal karena ada yang manggil untuk nambal ban ini, lumayan untuk kebutuhan sehari-hari”, begitulah Sukirno nyerocos mengawali pembicaraan. Menurutnya Ia dan istrinya lebih sering harus mengalah dengan tidak mengambil gaji dari sekolah yang di kelolanya, sehingga untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari di samping membuka usaha tambal ban di depan rumah petaknya, lelaki lulusan STM ini juga memberikan les privat kepada anak-anak tetangganya.
“Coba saja sampeyan hitung sendiri, dengan SPP Rp 12.500 per anak, perbulan kelihatannya memang besar, itu kalau bayar semua, lha kenyataannya sebulan yang bayar paling-paling sepuluh orang atau paling banter 15 orang, dikurangi biaya operasionalnya, habis mas, mau nagih ya gimana wong sama susahnya”, sambil tertawa lelaki asli Surabaya ini menceritakan sulitnya menanamkan tanggung jawab ke orang tua murid-muridnya yang rata-rata bekerja sebagai pemulung bahkan menurutnya, juga ada yang menunggak SPP sampai anaknya lulus maupun yang tidak mengambil ijazah.
Sementara ketika di singgung mengenai perkembangan anak asuhnya, pasangan suami istri ini mengaku bangga meskipun harus berada di tengah-tengah keterbatasannya. “ saya nggak malu ngelola sekolah ini, meskipun disini keadanya hanya begini, sebab ada juga beberapa mantan anak didik kami yang juga juara kelas di sekolah SD nya sekarang”.
Hanya saja, menurut Sukirno hampir tidak ada orang yang mau peduli dengan nasib keberadaan sekolahnya. Semuanya dikerjakan sendiri bersama istrinya, mulai dari mengurus yayasan, administrasi, mengajar semua di lakukan sendiri. “ibarat berjuang mas, tenaga, pikiran dan uang, itu kalau ada saya curahkan semuanya untuk ngurus sekolah ini sendirian saja. tetangga? siapa sih mas yang mau dengan sukarela kalau nggak ada duitnya, sampeyan tahu gimana warga sini sehari-harinya mereka hanya sibuk untuk berusaha memenuhi kebutuhannya”, begitulah sukirno menggambarkan keseharian para tetangga yang sekaligus menjadi orang tua murid-muridnya yang sehari-hari menempati rumah petak di tanah yayasan makam Dukuh Kupang.Ketika di singgung untuk mengajukan dana bantuan ke pemerintah pak guru Sukirno mengaku tidak tahu cara pengurusannya, apalagi status sekolah yang di kelolanya pun hanya sebatas ijin pemberitahuan ke kecamatan namun Sukirno juga mengaku bersyukur bahwa di tahun 2006 yang lalu dirinya mendapat insentif dari Diknas sebesar Rp 345.000 / 3 bulan. Namun tahun 2007 ini menurutnya masih dalam proses pengajuan ke Diknas***

Lanjut......

Saturday, April 28, 2007

Awas virus Smackdown

ARENA SMACK DOWN ORANG TUA vs ANAK-ANAK TV

Tayangan smack down di berbagai daerah telah banyak membawa korban mulai yang luka ringan, patah tulang sampai korban meninggal dunia. Ironisnya yang menjadi korban justru kalangan anak-anak dan remaja yang bermaksud hanya main-main dan meniru adegan-adegan tersebut. Seperti di ketahui umum masa kanak-kanak dan remaja yang sedang tumbuh dan berkembang selalu di awali dengan proses imitasi terhadap lingkungan sekitarnya.Pada tahapan ini kanak-kanak selalu mencari sosok yang di jadikan figure hero, kemudian menirunya mulai dari gaya bicara, pola pakaian, model rambut bahkan termasuk juga prilaku dari para hero yang menjadi sosok panutannya. Televisi seakan-akan telah menjadi figur panutan menggantikan peran orang tua bagi anak-anak dan remaja dalam berperilaku, Fredeick Williams (1985).
Dimanakah sosok orang tua yang semestinya menjadi panutan anak-anak dan remaja? Nampaknya telah terjadi pergeseran nilai budaya dan sosial. Orang tua mulai mempunyai kecenderungan waktu yang semakin sempit untuk berkumpul bersama keluarga. Sebagai alasan pembenarnya adalah makin sibuknya orangtua untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun agaknya para orangtua juga mulai lupa bahwa kebutuhan keluarga dan anak-anaknya tidak hanya cukup dengan kucuran materi yang di dapatkannya setelah sekian jam berkutat dengan pekerjaan dan begitu tiba di rumah kelelahan telah menderanya. Sehingga tidak ada waktu lagi untuk sekedar menemani anak-anak belajar atau berkumpul di ruang keluarga.
Banyak orang tua beranggapan, membiarkan anak-anak dirumah dengan menonton siaran televisi akan lebih aman ketimbang membiarkan mereka bermain di luar. Betapa orang tua mulai lupa, bahwa si kotak sakti ini juga bisa memberikan dampak psikologis yang kuat pada anak- anak, baik itu yang positif maupun pengaruh yang negatif. Tentu saja orang tualah yang harus menjadi filter dari buaian program acara televisi. Jangan sampai peran orang tua sebagai pengasuh dan pendidik anak-anak tergantikan posisinya oleh kehadiran si kotak sakti ini.
Tayangan smack down di Lativi telah dihentikan hari rabu 29 november yang lalu, setelah begitu banyak elemen masyarakat yang mengancam akan menuntut lembaga penyiaran ini. Sebelum jatuh korban seakan-akan masyarakat kita tidak peduli dengan tayangan kekerasan dalam kemasan sportainment semacam smackdown yang sebetulnya kalau kita mau jujur sangat jauh dari peran mendidik dan nilai-nilai sportivitas. Agaknya masyarakat lebih bisa spontan untuk mengkritisi hal-hal yang berkaitan dengan SARA dan pornografi karena di nilai tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa. Sementara itu tayangan yang berbau klenik dan kekerasan begitu membius masyarakat, atau jangan-jangan budaya masyarakat kita memang tidak pernah bisa lepas dari aroma asap dupa dan liatnya otot atau kerasnya tulang. Padahal kalau dicermati lebih teliti tayangan-tayangan tersebut juga sama-sama mampu menjadi virus yang menggerogoti kejiwaan anak-anak dan remaja.
Media komunikasi yang satu ini memang benar-benar sakti, suatu kelebihan yang layak di waspadai adalah kepiawaiannya menghadirkan realitas semu menjadi seakan-akan nampak nyata, inilah yang agaknya juga belum disadari oleh orang tua korban tayangan smackdown atau orang tua lainnya sehingga membiarkan anak-anak dan remaja terlena dengan tayangan dan adegan-adegan gila sehingga mereka leluasa menirunya.
Sejak kehadirannya televisi memang sudah menuai banyak kontroversi. Telah banyak pakar komunikasi yang melakukan studi penelitian mengenai dampak pengaruh televisi, namun sampai saat ini juga masih timbul pro dan kontra. Ibarat sebuah pisau tentunya, di satu sisi ada nilai guna dan sisi lainnya mampu menimbulkan bahaya. Dan kenyataannya betapa banyak saudara kita di daerah terpencil yang sangat menantikan kehadiran siaran televisi bahkan tidak sedikit diantara mereka yang harus nebeng ke tempat tetangga hanya untuk nonton televisi atau ada juga yang harus berjalan jauh hanya untuk sesaat membebaskan diri dari keterkungkungan. Begitu juga si kotak sakti ini telah menjadi barang yang sangat diidam-idamkan untuk dimiliki dan segera menempati ruang keluarga dan bahkan telah diterima sebagai anggota keluarga.
Para pengelola televisi sebagai institusi penyiaran juga harus memahami serta mau menjalankan misi sosialnya, karena mau tidak mau siaran televisi selalu berkaitan dengan kepentingan publik. Seperti kita tahu public audience TV bukan hanya orang dewasa tapi juga anak-anak dan remaja. Disinilah kearifan dan kebijaksanaan serta tanggung jawab moral para pengelola TV di perlukan, sebagai pelaksana fungsi edukasi, informasi dan hiburan. Bukan hanya semata-mata demi kepentingan subyektif pengelola yang hanya berdasar pada kalkulasi ekonomi atau kepentingan politis belaka.
Rambu-rambu aturan penyiaran harus tegas dan diperjelas tanpa maksud mengekang kreatifitas lembaga penyiaran. Begitu juga sudah semestinya jika pemerintah memberikan perlindungan terhadap para konsumen media.
Nah, para orang tua tentunya tidak akan melarang anak-anaknya nonton siaran TV bukan? Kita tidak mungkin kembali kemasa primitif dan terus menerus menghindar dari tayangan televisi sementara di luar sana arus informasi dan perubahan begitu deras mengalir. Diakui atau tidak kita adalah bagian dari kebutuhan informasi dan hiburan. Sedangkan edukasi merupakan tanggung jawab kita bersama. Andapun tentunya tidak akan rela melihat anak-anak dan remaja terjerumus akibat memilih saluran arus yang salah. Orang tua mesti lebih berperan dalam memilih dan menyediakan bahan bacaan anak-anak. Atau setidaknya secapek-capeknya orang tua seharusnya tidak egois membiarkan anak-anaknya nonton dan memilih saluran televisi sendirian.
Tayangan adu otot dan teriakan-teriakan yang mendewakan kekuatan ini memang telah di hentikan. Tapi ingat virus telah menyebar dan siap menebar ancaman anak-anak siapa saja. Dampak ini tidak mungkin dihentikan dalam waktu sesaat. Kembali orang tua dan lingkungan anak-anak baik di rumah, di sekolah maupun di arena bermain mempunyai tugas dan peran untuk memberikan pengertian dan pemahaman kepada anak-anak dan remaja. Semoga tidak bertambah panjang deretan nama korban iseng smack down maupun korban tayangan-tayangan lainnya***

Lanjut......

fabel:Katak ditepi Kolam yang nyaris kering

buat anak-anak himm.....
Pertengahan tahun monyet, saat musim kemarau mulai tiba. kondisi yang menuntut untuk benar-benar terjadi perubahan. karena sebenarnya keadaan di sekitar kita telah mulai menampakan perubahan; kolam memang masih penuh air waktu itu. namun sekarang jelas berbeda dengan keadaan kolam tiga bulan lalu. belum lagi munculnya rivalitas sesama penghuni kolam untuk bisa bersaing dan bertahan serta menikmati segarnya air kolam atau kondisi yang lebih keras yaitu dengan keadaan di luar kolam. Hampir semua masyarakat kolam ini mulai berbicara tentang perubahan, perubahan menurut esensi dan kepentingan masing-masing malahan. bukannya perubahan yang menyangkut keseluruhan hidup masyarakat kolam ini, bagaimana seluruh lapisan masyarakat bisa bertahan hidup dengan lestari di musim kemarau yang tentu saja pasti menyebabkan dasar kolam nampak seperti tanah lapang. atau mulai menyikapi bagaimana semestinya mempertahankan air kolam ini agar tidak cepat menguap di saat kemarau tiba, sehingga menjelang musim penghujan air masih bertahan di kolam. sayangnya sampai kondisi air kolam ini hanya tinggal untuk sebulan kedepanpun belum ada yang berpikir bagaimana seharusnya, apa perlu dasar kolam di lapisi beton untuk mengurangi resapan air, atau mungkin mengaliri kolam dengan air melalui pipa, atau lebih gila lagi dengan mengusulkan agar kolam ini di tutup semacam fiber untuk mengurangi penguapan. Belum ada ide-ide senakal itu, yang ada hanya berebut dan membentuk eksklusivisme yang sempit. Tidak menyalahkan masyarakat kolam ini, bila semuanya terkesan pasrah pada kondisi yang ada atau cenderung berpikir semua pasti berubah tergantung siklus yang berputar. lebih ekstrim, malah bersifat apatis terhadap semua isu tentang perubahan atau sebagian malah berpikir mulai terpinggirkan arus perubahan. Intinya semua harus ambil bagian dalam alih strategi atau alih posisi sekalipun, harus ada yang rela menjadi "agen of change". Paling tidak harus ada panutan yang akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Dan panutan itu tiada lain adalah diri kita masing-masing. Kolam yang telah tersekat-sekat, nyamuk-nyamuk petualang hanya berdengung di balik rerimbunan pohon, tidak pernah berani benar-benar menggigit, masyarakat kepiting hanya menyeringai dengan capitnya yang mungkin sudah tidak tajam lagi atau masyarakat belalang yang hanya berani mengintip dari balik rumput, juga masyarakat ikan sepat yang hanya berlenggak lenggok memuja keindahan tubuhnya. meskipun sebenarnya semua sadar telah kehilangan, ketika di kolam ini sudah tidak bisa lagi untuk sekedar bercengkerama dan bertukar pikiran dengan mujair atau lele, mereka semua telah tergusur oleh sebuah perubahan yang di sengaja dan di gantikan ikan-ikan kecil yang tak pernah besar="gathul". Harus ada yang berani merubahnya kembali, menjaga air kolam agar tetap jernih dan tidak cepat mengering, atau mulai menabur benih lele atau nila merah atau bahkan koi agar kewibawaan kolam ini kembali di perhitungkan komunitas kolam lain. karena sebetulnya di sini bukanlah sebuah kolam pancing yang sengaja di tabur ikan yang sudah gemuk dan kenyang sehingga para pemancing harus merogoh sedemikian banyak koceknya untuk membayar waktu yang telah di habiskan duduk di tepi kolam dan pulang tanpa membawa apa-apa. Dikolam ini semua belajar berenang, belajar bernyanyi, belajar menulis dan belajar menari, belajar melihat dan belajar berbicara sesuai keadaan yang di lihatnya. Tragisnya, kolam kita sudah hampir kering dan tidak segar lagi, model kolam kita juga butuh pembaharuan(bukan berarti para penghuni kolam sekarang mulai sok-sokan dan "kemenyek"), perlu sarana dan prasarana yang memadai atau sangat di perlukan para pengelola kolam yang memiliki kebijaksanaan dan pengetahuan tentang pola memelihara dan mengembangkan kolam. bukanya golongan tukang pancing yang kemudian mengelola kolam karena sekali lagi kolam ini sangat spesifik dan bukan kolam pancing. Butuh strategi pintar untuk menjaring masyarakat baru, bukan hanya mengandalkan luapan banjir yang membawa ikan-ikan kecil baru, kita tidak layak menunggu karena kita bisa berbuat sesuatu, untuk menghasilkan sesuatu yang besar ada kalanya di mulai dari sesuatu yang ekstrim yaitu memperbaiki sistem kolam atau segera mengalirkan air yang membawa lumut dan plankton-plankton baru sebagai nutrisi. Masyarakat kolam selalu ingin berubah.***

Lanjut......

Thursday, April 26, 2007

Merenda Bayang-Bayang

gambar juga nyusul yaa

Refleksi: Theater jawa klasik ini sekarang hanya menjadi bahan pelarian, ketika muncul sebuah peristiwa, lantas dihubungkan dengan dunia wayang: siapa dalangnya, atau ketika kita sedang dalam posisi terjepit dengan mudah kita mengatakan: “semua ada yang mengaturnya, kita tinggal menjalaninya, ketika dibutuhkan kita akan dicari dan sebaliknya ketika tidak dibutuhkan kita bakal di lempar kekothak paling bawah, yaa,… seperti wayang itu”. Kalau sudah demikian mengapa tidak berupaya untuk menjadi orang yang selalu di butuhkan lingkungan sekitar kita .

Wayang kayon di gelar tanpa penonton
Dalam iringan nada yang monoton
Aku beranjak, mengikuti lakon
Aku ksatria!!!
Di dadaku ada rahwana
Yang bermata kuyu karena cinta
Degup takutku, kuni
Otakku guru,sarafku durna,darahku kuru
Birahiku janaka, sombongku duryudana
Aku ksatria!!!
Sederet kisah dan lakon dalam peti hatiku
(lly:2000)

Kesenian wayang pada awalnya merupakan konsep kesenian masyarakat feodal yang berkembang di lingkungan keluarga keraton, meskipun saat ini juga menjadi tontonan rakyat jelata, dan pernah menjadi sebuah kesenian yang mampu menyedot animo masyarakat karena kesenian ini kaya akan cerita falsafah hidup, bahkan sebagian masyarakat jawa beranggapan wayang merupakan gambaran komplit dalam kehidupan sehari hari.
Dalam wayang seolah-olah orang jawa tidak hanya berhadapan dengan teori-teori umum tentang manusia, melainkan model-model hidup dan kelakuan manusia digambarkan secara konkrit sebagai refleksi kehidupan sehari-hari. Pada hakekatnya seni pewayangan mengandung konsepsi yang dapat dipakai sebagai pedoman sikap dan perbuatan dari kelompok sosial tetentu.
Kesepahaman ini tersusun menjadi nilai-nilai budaya yang tersirat dan tergambar dalam alur ceritanya, baik dalam sikap pandangan terhadap hakekat hidup, asal dan tujuan hidup, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan lingkungannya serta hubungan manusia dengan manusia lain.
Selain sebagai alat komunikasi yang ampuh serta sarana memahami kehidupan, wayang, bagi orang jawa merupakan simbolisme pandangan-pandangan hidupnya dalam setiap ruang gerak kehidupan di dunia yang tertuang dalam dialog disepanjang alur cerita yang ditampilkan. Tidak mengherankan kalau sampai sekarang masih banyak masyarakat jawa begitu tergetar hati nya ketika menyaksikan pagelaran wayang dan berharap akan selalu bisa uri-uri atau melestarikan seni budaya adi luhung masyarakat jawa.
Dalam pagelaran wayang juga terdapat dua fase yang memisahkan cerita wayang, yakni kisah cerita ramayana dan mahabarata yang berasal dari India. Tapi dari cerita-cerita tersebut meskipun berbeda tokoh dan tempat kejadian ternyata masih memiliki kesamaan falsafah hidup yang di sampaikan Ki dalang kepada para penontonnya. Kisah Ramayana menampilkan cerita perjalanan Sri Rama yang sedang berburu diiringi istrinya yang cantik dewi Sinta bersama adiknya Lesmana, tetapi karena keangkaramurkaan Rahwana, dewi Sinta di culik ketika Sri Rama sedang memburu kijang kencana jelmaan. Kisah peperangan antara Sri Rama dan Prabu Rahwana juga menampilkan banyak intrik yang menarik dan mengajarkan kepada para penonton tentang sebuah arti kesetiaan. Cerita wayang selalu di penuhi kisah-kisah tauladan tuntunan hidup oleh para ksatria yang memerangi kejahatan, dimana akhirnya kebaikan budi selalu mengalahkan kejahatan.
Begitu pun dengan kisah Mahabarata, merupakan kisah perseteruan keluarga Kuru, yaitu anak-anak Prabu Dhestarata yang berjumlah seratus dan berbentuk setengah raksasa atau disebut Kurawa berebut kekuasaan dengan Pandawa Lima keturunan Prabu Pandu Dewanata yang juga adik dari Prabu Destarata yang buta. Perseteruan dua keturunan ini berakhir dengan perang Bharatayuda di padang Kuru Setra. Lagi-lagi intrik keluarga raja juga ditampilkan dalam kisah ini, tetapi sekali lagi kisah ini juga berakhir dengan kemenangan para pejuang kebaikan, tiada lain adalah keluarga Pandawa.
Menariknya lagi, ternyata meskipun kejahatan tersebut juga timbul dari ulah para dewa sekalipun pada akhirnya masih ada satu kekuatan tertingi yang akan mengalahkannya. Kekuatan tertinggi dalam jagad pakeliran tersebut adalah Sang Hyang Wekas atau Sang Hyang Wenang, meskipun tidak digambarkan dalam bentuk nyata sebagaimana tokoh wayang yang lainnya. Ini juga menjadi semacam bukti bahwa seni wayang juga mengakui adanya sebuah kekuatan yang menjaga kebenaran dengan hakiki.***

Cukup beralasan jika kesenian wayang dikatakan sebagai jenis kesenian yang kompleks terdiri dari gabungan berbagai macam aliran seni, mulai seni tatah sungging (seni rupa), seni musik (karena tentunya dalam pagelaran wayang juga di iringi musik gamelan: alat musik jawa yang menghasilkan bunyi pentatonik seperti halnya, bonang, kendang, slendro, rebab dan alat musik lainnya sehingga menghasilkan kesatuan bunyi seperti yang di harapkan dalam setiap pementasan. Sementara itu seorang dalang juga tampil menjadi seorang wiraswara sekaligus menjadi pusat pertunjukan yang menuturkan lakon cerita (antawacana) dalam lakon yang dimainkan. Tentunya juga di iringi para niaga (penabuh gamelan) dan beberapa pesinden ( yang membawakan langgam-langgam jawa pengiring pagelaran wayang). Sementara itu seorang dalang adalah seniman komplet karena selain menjadi konduktor dari para penabuh gamelan seorang dalang juga sekaligus sutradara dan juga pemain utama dan merupakan tokoh yang menggerakkan wayangnya, juga mendialogkan masing-masing tokoh wayang, melawak, bahkan melantunkan ajaran kerohanian. Seringkali cerita wayang berisi ajaran kerohanian ataupun pertunjukkannya berkaitan dengan suatu upacara keagamaan, maka seorang dalang dianggap memiliki kemampuan kesucian bathin yang tinggi. Bahkan sebelum menjadi dalang, seseorang harus belajar dalam berbagai tahapan yang njelimet untuk berlatih olah spiritual. Dalang merupakan jembatan komunikasi antara alam nyata dan alam maya. Seorang dalang juga menjadi komunikator, spiritualis, atau juga orang yang dianggap memiliki kebijakan dan kemampuan supra lainnya dan tentu saja yang terpenting seorang dalang adalah seniman yang komplet dan serba bisa.

Masa kejayaan wayang telah pudar, tidak banyak lagi generasi yang antusias untuk menyimak pertunjukan wayang kulit, apalagi bila digelar sepanjang malam. Bahkan untuk sekedar mengetahui tokoh-tokoh wayang pun generasi sekarang seakan kesulitan untuk menyebutnya. Apalagi dengan semakin banyaknya tontonan modern yang dapat di dapat dengan murah pagelaran wayang kulit seakan tak menarik lagi. Di masa kejayaanya, wayang kulit kerap di tampilkan dalam acara hajatan pernikahan ataupun acara-acara sakral lainnya, namun sekarang sangat jarang terdengar lakon ruwat murwokolo di pentaskan dalam acara ruwatan yang tentunya masih menjadi kepercayaan sebagian orang jawa, begitu juga dengan pementasan lakon Antarejo rabi atau sayembara dewi mahendra diacara pernikahan.

Lanjut......

Ludruk Sekarang....

(dari nonton ludruk di Wonokromo)
foto nyusul yaa....
Siapapun pasti tidak sudi terperangkap ketidakpastian. Namun diantara sekian banyak yang tidak peduli ternyata masih ada sebagian jiwa yang merasa terpanggil untuk meniti jalan yang belum pasti kemana arahnya. Ketidakpastian inilah yang saat ini justru tengah di lalui dan menjadi pilihan seniman ludruk. Diantara hiruk pikuk dan gemerlap dunia hiburan yang semakin menghipnotis kehidupan warga metropolis, saat ini ludruk ternyata justru terpinggirkan. Padahal ludruk yang awalnya berasal dari Jombang dan besar di kota Surabaya ini, pernah berjaya di era tahun 60-an hingga awal tahun delapan puluhan. Memang tidak banyak seniman ludruk yang bisa menikmati kejayaan itu, hanya ada beberapa orang yang menikmati kemapanan itu baik dari sisi materi ataupun kepopuleran di panggung. bagaimana selanjutnya
Kesenian asli Jawa Timur ini seakan enggan berlari mengikuti tuntutan kebutuhan hiburan masyarakat metropolis. Ludruk justru tertatih-tatih meniti jalannya sendiri yang semakin berliku. Dalam usianya yang tidak muda lagi, ludruk bagaikan orang tua yang membutuhkan tongkat untuk sekedar penopang langkah kakinya. Ibarat sebuah pelita, kesenian yang di perankan oleh lelaki dan waria ini nampaknya juga butuh pasokan bahan bakar tambahan ( sayangnya harga BBM lebih tinggi dari yang kita bayangkan sebelumnya). lantas siapa yang akan menjadi titik terang penunjuk jalan?
Seniman ludruk juga manusia, perlu makan, berumah tangga serta merawat dan mendidik anak-anaknya maupun mencoba memenuhi setumpuk kebutuhan yang juga di lakoni manusia lainnya. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tak jarang para seniman ludruk juga bekerja serabutan, mulai dari kuli bangunan, pekerja bengkel, tukang gigi, tukang becak, buka warung kaki lima sampai rias penganten. Bisa dibilang hampir semua usaha telah dilakukan untuk mencukupi kebutuhannya. Karena bila hanya bergantung dari usahanya berkesenian rasanya tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Namun jiwa senilah yang memanggil mereka untuk tetap eksis bermain ludruk meskipun kenyataanya tak banyak rupiah yang di hasilkan dari Tobong (tempat pementasan ludruk, sekaligus tempat tinggal sementara para pemain ludruk).
Zakiyah Sunaryo, pimpinan ludruk Irama Budaya mengatakan orang yang mengaku sebagai seniman ludruk mau nggak mau harus tetap berkesenian. “rasanya malu mas, kalau tukang ludruk ndak ngludruk, meskipun dalam sekali pentas tak jarang hanya mendapat bagian Rp 1000,- ya, semua itu demi melestarikan kesenian tradisional kita sendiri”.
Tinggal berdesak-desakan di dalam tobong, di bawah panggung yang disekat triplek dan juga kardus menjadi ruangan seukuran 3x3 meter yang di terangi bola lampu 10 watt, para waria pemain ludruk malam itu sibuk merias diri dengan alat kosmetik seadanya yang di beli sendiri dengan menyisihkan hasil yang hanya seribu duaribu itu. Usai pementasan ruang itupun berubah menjadi kamar tidur bagi mbak Dar, mbak Tatik, mbak Nanik dan waria-waria lain yang rata-rata berusia diatas 35 tahun.
Dari sekian nomor registrasi kelompok ludruk yang terdaftar di Dinas Pariwisata, kenyataannya hanya tinggal beberapa kelompok saja yang masih bertahan dalam kembang kempisnya keadaan. Salah satunya adalah ludruk Irama Budaya yang saat ini masih menggelar pertunjukan ludruk setiap malam di Tobong Wonokromo. Meskipun dalam sekali pertunjukan selalu dihadiri tidak lebih dari 30 orang penonton, kecuali hari sabtu malam minggu biasanya lebih banyak penonton yang datang, itupun penonton yang rata-rata berusia diatas 45 tahun. Padahal harga tiket pertunjukannya hanya Rp.3000,- saja. Bisa di bayangkan berapa rupiah yang di dapatkan masing-masing personil, jika saat ini ludruk Irama Budaya berjumlah 64 orang. Inilah yang juga di pusingkan wak Zakiyah, “yok opo maneh mas, awake dewe yo gak kurang usaha, sampeyan lak isok ngetung dewe tah, nek penontone mek sak mono, yoo wis podho nedho nrimo ae mas, pokoke iso mbayar lampu ambek sewane tobong, sing penting isok main terus”. Demikian lelaki 57 tahun ini mencoba melepaskan kesesakan dadanya di antara gending jula-juli yang keluar dari speaker pengeras suara yang menjerit-jerit seperti tercekik karena peralatan audio yang sudah waktunya diganti.
“mau gimana lagi, di bicarakan setiap hari juga ndak ada perubahan sama sekali,wong memang kondisinya seperti ini, orang lebih pandai memilih hiburan, sekarang duduk di rumah saja kita bisa nonton pertunjukan musik, film atau sinetron tinggal pilih mas, tinggal ceklak ceklek remot aja, murah dan lebih menarik lagi”, begitulah wak sakiyah sambil mengepulkan sigaret kreteknya mencoba membandingkan.
Kondisi ini masih berlangsung hingga saat ini, sejak ludruk digilas kemajuan tehnologi informasi dan hiburan, ketika ludruk tak lagi di minati seperti halnya vcd dan televisi yang tayanganya selalu dinanti dan di turut seperti ungkapan nabi. Ludruk justru semakin terkapar, terhimpit di tengah metropolis yang hingar. Bukannya tidak peduli, para seniman ludruk pun sudah mengupayakan berbagai cara agar kesenian asli arek jawa timur ini terus lestari. Berbagai terobosan sudah di coba, mulai dengan mengadopsi cerita-cerita yang bukan pakem ludruk, sampai mencoba memperbaiki tata lampu dan tata audio, atau bahkan mungkin juga meng up grade pola pikir seniman ludruk, semuanya belum membuahkan hasil. Bahkan banyak kalangan remaja yang mengaku belum pernah nonton pagelaran ludruk. Teater tradisional ini masih menjadi milik segelintir generasi tua. Dan sayangnya media televisi kitapun masih lebih memilih tayangan reality show yang lebih mampu meningkatkan rupiah dan mendongkrak rating.

Lanjut......
 

MENU UTAMA: