MENU UTAMA

Thursday, April 26, 2007

Ludruk Sekarang....

(dari nonton ludruk di Wonokromo)
foto nyusul yaa....
Siapapun pasti tidak sudi terperangkap ketidakpastian. Namun diantara sekian banyak yang tidak peduli ternyata masih ada sebagian jiwa yang merasa terpanggil untuk meniti jalan yang belum pasti kemana arahnya. Ketidakpastian inilah yang saat ini justru tengah di lalui dan menjadi pilihan seniman ludruk. Diantara hiruk pikuk dan gemerlap dunia hiburan yang semakin menghipnotis kehidupan warga metropolis, saat ini ludruk ternyata justru terpinggirkan. Padahal ludruk yang awalnya berasal dari Jombang dan besar di kota Surabaya ini, pernah berjaya di era tahun 60-an hingga awal tahun delapan puluhan. Memang tidak banyak seniman ludruk yang bisa menikmati kejayaan itu, hanya ada beberapa orang yang menikmati kemapanan itu baik dari sisi materi ataupun kepopuleran di panggung. bagaimana selanjutnya
Kesenian asli Jawa Timur ini seakan enggan berlari mengikuti tuntutan kebutuhan hiburan masyarakat metropolis. Ludruk justru tertatih-tatih meniti jalannya sendiri yang semakin berliku. Dalam usianya yang tidak muda lagi, ludruk bagaikan orang tua yang membutuhkan tongkat untuk sekedar penopang langkah kakinya. Ibarat sebuah pelita, kesenian yang di perankan oleh lelaki dan waria ini nampaknya juga butuh pasokan bahan bakar tambahan ( sayangnya harga BBM lebih tinggi dari yang kita bayangkan sebelumnya). lantas siapa yang akan menjadi titik terang penunjuk jalan?
Seniman ludruk juga manusia, perlu makan, berumah tangga serta merawat dan mendidik anak-anaknya maupun mencoba memenuhi setumpuk kebutuhan yang juga di lakoni manusia lainnya. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tak jarang para seniman ludruk juga bekerja serabutan, mulai dari kuli bangunan, pekerja bengkel, tukang gigi, tukang becak, buka warung kaki lima sampai rias penganten. Bisa dibilang hampir semua usaha telah dilakukan untuk mencukupi kebutuhannya. Karena bila hanya bergantung dari usahanya berkesenian rasanya tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Namun jiwa senilah yang memanggil mereka untuk tetap eksis bermain ludruk meskipun kenyataanya tak banyak rupiah yang di hasilkan dari Tobong (tempat pementasan ludruk, sekaligus tempat tinggal sementara para pemain ludruk).
Zakiyah Sunaryo, pimpinan ludruk Irama Budaya mengatakan orang yang mengaku sebagai seniman ludruk mau nggak mau harus tetap berkesenian. “rasanya malu mas, kalau tukang ludruk ndak ngludruk, meskipun dalam sekali pentas tak jarang hanya mendapat bagian Rp 1000,- ya, semua itu demi melestarikan kesenian tradisional kita sendiri”.
Tinggal berdesak-desakan di dalam tobong, di bawah panggung yang disekat triplek dan juga kardus menjadi ruangan seukuran 3x3 meter yang di terangi bola lampu 10 watt, para waria pemain ludruk malam itu sibuk merias diri dengan alat kosmetik seadanya yang di beli sendiri dengan menyisihkan hasil yang hanya seribu duaribu itu. Usai pementasan ruang itupun berubah menjadi kamar tidur bagi mbak Dar, mbak Tatik, mbak Nanik dan waria-waria lain yang rata-rata berusia diatas 35 tahun.
Dari sekian nomor registrasi kelompok ludruk yang terdaftar di Dinas Pariwisata, kenyataannya hanya tinggal beberapa kelompok saja yang masih bertahan dalam kembang kempisnya keadaan. Salah satunya adalah ludruk Irama Budaya yang saat ini masih menggelar pertunjukan ludruk setiap malam di Tobong Wonokromo. Meskipun dalam sekali pertunjukan selalu dihadiri tidak lebih dari 30 orang penonton, kecuali hari sabtu malam minggu biasanya lebih banyak penonton yang datang, itupun penonton yang rata-rata berusia diatas 45 tahun. Padahal harga tiket pertunjukannya hanya Rp.3000,- saja. Bisa di bayangkan berapa rupiah yang di dapatkan masing-masing personil, jika saat ini ludruk Irama Budaya berjumlah 64 orang. Inilah yang juga di pusingkan wak Zakiyah, “yok opo maneh mas, awake dewe yo gak kurang usaha, sampeyan lak isok ngetung dewe tah, nek penontone mek sak mono, yoo wis podho nedho nrimo ae mas, pokoke iso mbayar lampu ambek sewane tobong, sing penting isok main terus”. Demikian lelaki 57 tahun ini mencoba melepaskan kesesakan dadanya di antara gending jula-juli yang keluar dari speaker pengeras suara yang menjerit-jerit seperti tercekik karena peralatan audio yang sudah waktunya diganti.
“mau gimana lagi, di bicarakan setiap hari juga ndak ada perubahan sama sekali,wong memang kondisinya seperti ini, orang lebih pandai memilih hiburan, sekarang duduk di rumah saja kita bisa nonton pertunjukan musik, film atau sinetron tinggal pilih mas, tinggal ceklak ceklek remot aja, murah dan lebih menarik lagi”, begitulah wak sakiyah sambil mengepulkan sigaret kreteknya mencoba membandingkan.
Kondisi ini masih berlangsung hingga saat ini, sejak ludruk digilas kemajuan tehnologi informasi dan hiburan, ketika ludruk tak lagi di minati seperti halnya vcd dan televisi yang tayanganya selalu dinanti dan di turut seperti ungkapan nabi. Ludruk justru semakin terkapar, terhimpit di tengah metropolis yang hingar. Bukannya tidak peduli, para seniman ludruk pun sudah mengupayakan berbagai cara agar kesenian asli arek jawa timur ini terus lestari. Berbagai terobosan sudah di coba, mulai dengan mengadopsi cerita-cerita yang bukan pakem ludruk, sampai mencoba memperbaiki tata lampu dan tata audio, atau bahkan mungkin juga meng up grade pola pikir seniman ludruk, semuanya belum membuahkan hasil. Bahkan banyak kalangan remaja yang mengaku belum pernah nonton pagelaran ludruk. Teater tradisional ini masih menjadi milik segelintir generasi tua. Dan sayangnya media televisi kitapun masih lebih memilih tayangan reality show yang lebih mampu meningkatkan rupiah dan mendongkrak rating.

No comments:

 

MENU UTAMA: