MENU UTAMA

Monday, May 28, 2007

SEVILLA RAMAIKAN BURSA JUARA

SEVILLA RAMAIKAN BURSA JUARA

Lanjut......

CHIEVO DEGRADASI

Dari arena seri A italia penentuan nasib tim yang melengkapi ke zona degradasi benar-benar di tentukan partai Catania versus Chievo. Pertandiangan yang di gelar di tempat netral ini berkesudahan 2-0 untuk kemenangan catania. Dua gol kemenangan catania di ciptakan rosini di menit 66 dan gol dari minelli dimenit 80.
CHIEVO DEGRADASI

Lanjut......

Tuesday, May 22, 2007

Manusia dan Lingkungan Stren Kali

Begitu penting arti lingkungan hidup bagi manusia di manapun. Meskipun kenyataannya masalah lingkungan sering kali di abaikan.bahkan kenyataan yang terjadi justru selalu terjadi eksploitasi besar-besaran terhadap lingkungan. Meskipun dari awalnya Tuhan menciptakan alam dan segala isinya memang untuk kehidupan manusia dan segala mahkluk ciptanNya, namun seiring sejalan dengan tuntutan persaingan, manusia yang keluar sebagai mahkluk pemenang justru seakan-akan memanfaatkan kesempatan itu untuk mengeruk sebesar-besarnya segala manfaat dari alam dan lingkungan sekitarnya.


Kesadaran inilah yang nampaknya telah menginspirasi hampir setiap negara di dunia untuk membentuk kementrian yang khusus mengurus lingkungan hidup. perlahan-lahan segala upaya di lakukan oleh pemerintah untuk mengatur warganya dalam berperilaku terhadap lingkungan. mulai dengan mempersiapkan hukum dan undang-undang tentang pemanfaatan hasil sumber daya alam hingga membuat aturan tegas berupa sanksi-sanksi terhadap para pelanggarnya. namun semua itu nampaknya hanya sebagai lukisan yang tergantung di ruang makan saja.

Berbicara tentang kerusakan lingkungan, seringkali yang justru menjadi kambing hitamnya adalah masyarakat tradisional yang lahir dan tinggal di sekitar lingkungan itu sendiri. Sebagai contoh permasalahan yang terjadi pada masyarakat stren kali. mereka cenderung menjadi tertuduh, ketika air sungai menjadi kotor akibat banyaknya sampah rumah tangga. Padahal kalau mau di pikir ulang tidak semua sampah dan limbah yang mengalir kesungai akibat dari pembuangan sampah masyarakat stren kali.

Memang fakta yang ada, berdirinya gubuk-gubuk liar di pinggir sungai cukup menggangu keindahan kota. Bahkan juga sering menjadi pemicu munculnya permasalahan sosial lain, seperti munculnya tempat-tempat prostitusi liar murahan di sepanjang bantaran sungai.

Tapi yang juga harus di ingat apakah para pengusaha kita juga sudah mempunyai kesadaran dengan tidak membuang limbah industrinya ke sungai secara langsung? bukannya berburuk sangka. Tapi tentunya juga harus meningkatkan kewaspadaan kita, jangan-jangan secara diam-diam mereka mengalirkan limbahnya melalui pipa yang tertanam langsung ke sungai. Kalau itu benar terjadi berapa banyak pabrik dan berapa volume limbah yang menggelontor sungai? padahal hampir bisa di pastikan semua pabrik beroperasi dengan menggunakan bahan-bahan kimia.

Kembali kemasyarakat stren kali, sering kali kita mendengar upaya dari pemerintah untuk menertibkan gubuk-gubuk liar. Benarkah di tertibkan? rasanya yang ada kok mereka di gusur begitu saja, setelah itu di biarkan. Padahal kalau kita mau belajar lebih arif, bukankah akan lebih baik jika pemerintah daerah juga fokus pada pembangunan stren kali, artinya bukan menggusur namun mengatur. Dengan kata lain merubah kebijakan pemerintah sendiri untuk mendorong perubahan sikap pada masyarakat stren kali.

Perubahan tata kota yang bisa di lakukan salah satunya dengan memasang lampu penerangan di sepanjang bantaran sungai yang memungkinkan berdiri gubuk-gubuk liar, tentu akan dapat menurangi potensi masalah sosial. Supaya tidak terkesan liar tentu saja pemerintah daerah harus melegalkan rumah-rumah tersebut dengan satu syarat rumah yang didirikan di pinggir sungai harus menghadap kesungai bukannya seperti sekarang ini di mana rumah-rumah selalu membelakangi sungai hingga berpotensi menambah sampah sungai. Ini berkaitan dengan budaya masyarakat kita yang cenderung memandang sungai sebagai saluran pembuangan.

Disamping itu pemerintah daerah juga harus terus mengoptimalisasi pemanfaatan sungai sebagai sarana transportasi dan rekreasi. Sebuah pelajaran berharga dari masyarakat luarnegeri yang begitu sukses memanfaatkan sungai mulai sejak dulu. Padahal kalau kita mau jujur justru kita mngalami kemunduran jika berkaca pada sejarah. pada jaman mojopahit begitu dominan transportasi melalui sungai. Lebih gampang lagi ketika kita mendengar langgam keroncong ciptaan Sang Maestro Gesang dengan Bengawan Solo nya. betapa indah.




Lanjut......

Monday, May 14, 2007

CERMIN RETAK DARI DUNIA PENDIDIKAN

Ketika masih duduk di sekolah dasar, saya begitu terkagum-kagum melihat beberapa mahasiswa yang sedang KKN di desa tempat tinggal saya. yang ada dalam bayangan pikiran saya waktu itu, mahasiswa adalah sosok orang pilihan yang bisa menyelesaikan berbagai persoalan dengan penalarannya yang cerdas. Mahasiswa adalah manusia super yang kenyang makan asam garam pendidikan sehingga bisa berlaku santun pada orang lain dan mampu membimbing adik-adiknya. Dan yang paling membuat saya senang setiap ada mahasiswa KKN kedesa saya adalah di hari terakhir yang bisa dipastikan selalu ada pemutaran layar tancap meskipun sering kali film yang diputar tentang KB dan semacamnya. Dan teman-teman saya pun kayaknya juga nggak peduli apapun film yang di putar, mau KB kek, mau tentang pertanian yang penting bisa nonton layar tancap. begitu juga dengan para orang tuanya, selalu tidak mau ketinggalan.

Waktu itu saya masih di kelas tiga SD, ada beberapa mahasiswa yang datang dan mengajar di kelas meskipun tidak lebih dari satu minggu, sebagian yang lain ada yang membantu di kelurahan atau memberikan penyuluhan pertanian ataupun kesehatan terutama mengenai pentingnya KB dan kesehatan lingkungan. Bahkan sempat juga dibuatkan generator listrik meskipun beberapa bulan kemudian ternyata sudah rusak dan tidak dapat difungsikan, padahal seingat saya itu adalah listrik pertama yang bisa dinikmati beberapa rumah di desa saya

Saya selalu terpesona dengan penampilannya yang rapi dan kelihatan pintar, karena saya membayangkan mereka setidaknya telah duduk di bangku sekolah selama limabelas tahun, sebuah pengalaman yang tidak sedikit tentunya. Tapi bagaimana dengan sekarang, setelah secara pribadi juga merasakan sebagai orang yang pernah di sebut sebagai mahasiswa?. Setidaknya juga terjadi pergeseran, mahasiswa yang sering kali disebut sebagai masyarakat intelektual karena kemampuan nalarnya untuk meghadapi persoalan yang ada sekarang ini lebih nampak sebagai serombongan preman yang suka pamer kekuatan. Mungkin ada benarnya jika kuli batu yang bekerja keras dengan ototnya, karena semakin kuat dia akan semakin banyak rupiah yang dihasilkannya.

Cukup banyak kejadian yang bisa kita jadikan cerminan, ketika mahasiswa berlaku beringas di dalam kampus, main lempar dan main pukul hanya gara-gara tim sepakbolanya kalah dari fakultas lain atau kampus lain. atau ketika seorang pencuri tertangkap basah di kampus kemudian dikeroyok dan digebuki ramai-ramai, apakah ini gambaran dari sosok intelektual? sementara itu ruang gerak pihak kepolisian juga semakin sempit saat ada kaitan kejadian di kampus. Mahasiswa beranggapan masalah internal bisa di selesaikan sendiri tanpa melibatkan pihak kepolisian, terus bagaimana jika kejadian ini merembet menjadi kerusuhan atau membawa korban jiwa? apakah benar kampus menjadi kawasan ekslusif yang mempunyai pranata hukum sendiri.

Belum kering ingatan kita pada kejadian yang membawa korban di kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri(IPDN). Nyawa Clif Muntu melayang setelah menjadi bulan-bulanan para senior. Tentu saja kembali muncul tanggapan miring dari masyarakat yang di tujukan ke kampus yang dulu bernama APDN ini, terlebih lagi meninggalnya Clif bukan kejadian yang pertama.

Masyarakat, hanya bisa mengelus dada betapa sekolah pamong praja yang notabene lulusannya merupakan pegawai negeri sipil ini justru menerapkan pola pendidikan yang katanya pola militer. Padahal akademi militer sendiripun tidak mungkin menerapkan pola pembinaan kepada para siswanya dengan pesta pukulan, gebukan dan tendangan hanya untuk menerapkan kedisipilinan kepada para taruna. Kalau ini yang terjadi betapa menariknya untuk dicermati atau orang akan dengan mudah berasumsi bahwa para siswa atau praja tersebut tak ubahnya sekelompok orang bodoh yang tidak paham dengan aturan tertulis atau kata-kata dan baru bisa tunduk dan patuh setelah mendapat pukulan atau tendangan.

Awal bulan Mei kemarin kita juga dikejutkan dengan meninggalnya seorang siswa SD di Jakarta setelah dikeroyok tiga teman sekolahnya, satu diantaranya seorang gadis kecil. Mungkin banyak yang beranggapan ini hanya sebuah kecelakaan dari anak-anak yang belum balig dan belum mengerti akibat dari perbuatannya. kalau benar memang anggapan ini yang muncul, berarti juga bisa memunculkan pemikiran bahwa telah terjadi kecelakaan fatal pada dunia pendidikan kita.
Kecelakaan yang bisa saja terjadi ketika kita, orangtua, lingkungan masyarakat sekitar dan pihak sekolah telah lalai bahwa di sekitar kita ada anak-anak kecil yang selalu berkembang melalui proses imitasi. Hampir mirip juga dengan munculnya kasus smackdown di lingkungan anak-anak Sekolah Dasar beberapa waktu lalu yang juga membawa korban jiwa melayang dan luka-luka. Dari kasus ini juga banyak masyarakat yang berpikir bahwa kecelakaan ini disebabkan karena anak lebih banyak dijejali tayangan smackdown di televisi yang tidak terseleksi dan kurang pengawasan dari orang tua.

Sebelumnya kita bisa sedikit tenang dan berbangga, cukup lama kita tidak melihat atau mendengar berita tawuran antar pelajar. Meskipun juga sempat beberapa kali dikotori ulah guru yang menjadikan anak didik sebagai pelampiasan kejengkelannya dengan melakukan penganiayaan. Bertambah pandaikah anak didik setelah digampar kepalanya?, sebagai alasan pembenar si murid kelewat badung. Lho, bukankah itu sudah menjadi tugas guru untuk mengarahkan dan mengurangi kebadungan si murid? artinya tetap harus dengan cara-cara manusiawi yang sehat(tanpa pukulan, tanpa gamparan yang sifatnya lebih mengarah pada penganiayaan). Apakah kemudian guru menjadi puas setelah menyakiti murid-muridnya?

Masih di minggu pertama bulan Mei, ada kabar dari Makasar, sesama mahasiswa sebuah Sekolah Tinggi Agama Islam saling kejar, saling lempar dan baku pukul. tawuran ini dipicu penikaman salah seorang mahasiswa oleh sesama mahasiswa berbeda fakultas. Fasilitas kampus dirusak, kaca bertebaran. Kondisi sedikit berbeda terjadi di Sumatera utara kampus Universitas Islam Sumatera Utara juga bergolak. perang batu juga terjadi akibat perebutan tahta kekuasaan antara pengurus yayasan lama dengan pengurus baru. Kedua kubu bertikai tak lagi saling mengalah dan duduk satu meja untuk membicarakan permasalahan. satu kubu merekrut orang-orang yang ditugaskan untuk menjadi satuan pengaman sedangkan pihak lainnya bersama para pendukungnya menyerbu kekampus dan memaksa keluar di pagi buta. hasilnya bisa dibayangkan, kerusakan yang terjadi, mahasiswa lagi-lagi dirugikan tidak bisa mengikuti perkuliahan padahal pada hari kejadian mahasiswa sedang ujian tengah semester. Sementara ini kampus UISU diambil alih pengelolaanya oleh pemerintah pusat.

Max webber dalam teorinya menyatakan kekuatan seringkali digunakan untuk memperluas kekuasan. Mengaca pada kejadian di UISU tentunya pihak-pihak bertikai mencoba untuk memobilisasi pendukungnya demi mengamankan kekuasaan masing-masing. Tapi harus dingat "ini abad 21 BUNG, bukan juga perang di Palestina". Benarkah Kekerasan sudah menjadi budaya baru bagi bangsa kita? padahal dulu kita dikenal sebagai bangsa yang ramah dan beradat istiadat atau ini hanya sebuah mimpi? jika kenyataannya mahasiswa yang menjadi masyarakat intelek saja sering kali melakukan kekerasan seperti tawuran antar preman. Anda bisa bayangkan saeperti apa negeri ini jika 20 tahun kedepan bangsa kita masih dipimpin orang-orang hasil pendidikan model preman. Sedangkan saat ini kehidupan bangsa kita juga masih harus prihatin dengan hasil pendidikan korup yang sampai sekarangpun juga masih sulit disembuhkan.***



Lanjut......

Saturday, May 5, 2007

Stok lawas:APBD DAN PROFESIONALISME KLUB

Separuh Napas Kontestan Liga Indonesia 2007

Kompetisi divisi utama liga Indonesia XIII akan segera digulirkan. Menariknya roda yang siap diputar ini kembali harus terhenti. Benarkah pengelola liga Indonesia tak mau belajar dari permasalahan-permasalahan yang pernah muncul dikompetisi sebelumnya? Sebuah pertanyaan yang tentunya hanya bisa dijawab oleh para penggerak roda kompetisi di negeri ini. Terlepas dari pertanyaan tersebut tentunya kita juga masih ingat betapa dalam setiap jelang kompetisi kita selalu disodori berita ribut-ribut soal jadwal, belum lagi pada saat kompetisi dilangsungkan, perubahan jadwal maupun molornya jadwal kompetisi selalu menghiasi kompetisi terpanjang didunia ini.
Sebelumnya PSSI menunda kompetisi divisi utama liga Indonesia 2007 selama sepekan. Kemudian PSSI menetapkan gelaran liga akan dimulai tanggal 3 pebruari 2007, akan tetapi apa yang terjadi kemudian? H -5 jelang peluit panjang tanda pertandingan pertama digelar PSSI mengumumkan penundaan jadwal kompetisi menjadi mundur sepekan lagi yang berarti kompetisi baru akan di mulai tanggal 10 pebruari 2007.
Baiknya kita lupakan dulu sejenak ribut-ribut tentang kick off kompetisi divisi utama liga Indonesia, karena ada satu hal yang lebih penting terkait kesinambungan kompetisi di tanah air, apalagi kalau bukan masalah dana yang digunakan klub untuk berkompetisi.
Pemerintah, dalam hal ini melalui Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 mulai menyoal penggunaan dana APBD untuk membiayai klub-klub sepakbola di tanah air. Aturan yang tertuang dalam PP dan Permendagri tersebut mengatur pos bantuan keuangan dalam APBD tidak boleh dilakukan terus menerus ke satu organisasi dan jumlah dana yang diberikan tidak boleh semakin besar setiap tahunnya. Menariknya selama ini justru yang terjadi adalah sebaliknya, kenyataannya dari 36 klub anggota divisi utama liga Indonesia hanya ada 4 tim yang tidak menggunakan dana APBD untuk biaya klub( Arema dibiayai swasta, Semen Padang, Pelita Jaya Purwakarta dan PKT Bontang di biayai BUMN).
Itu berarti ada 32 tim anggota divisi utama yang selama ini dan sudah berlangsung bertahun-tahun selalu netek ke induk semangnya yaitu pemkot maupun pemda melalui Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Ironisnya penggunaan dana tersebut setiap tahun bukannya semakin berkurang tapi justru semakin bertambah besar. Katakanlah penyelenggaraan kompetisi divisi utama liga Indonesia tahun 2007 ini adalah yang ketigabelas kalinya, meskipun juga sempat terhenti pada tahun 1998 yang lalu, sudah berapa milyar rupiah dana APBD yang di habiskan untuk mengelola klub sepakbola? Belum lagi dana yang juga dikucurkan untuk klub divisi satu maupun divisi dua Wow, kalau dibandingkan dengan hasil yang dicapai saat ini tentunya kesia-siaan yang tidak sepadan dengan pengorbanan yang telah diberikan.
Harus diakui, sepakbola adalah olahraga rakyat meskipun rakyat juga sudah begitu lama memendam kerinduan prestasi sepakbola tanah air yang tak kunjung tiba menyiram dahaga haus gelar. Awalnya merupakan upaya yang begitu mulia ketika pemerintah mengulurkan tangan dengan dana APBD untuk memodali klub agar bisa eksis di arena kompetisi dengan harapan sepakbola nasional juga akan terangkat prestasinya dikancah internasional. Tapi yang terjadi kemudian justru diluar penalaran kita ketika klub menjadi keenakan menetek dana APBD dan belaian kasih pemkot maupun pemda yang nyata-nyata menjadikan klub sepakbola sebagai anak angkat. Ujung-ujungnya klub sepakbola menjadi sarana kampanye politik dan ladang korupsi. Bagaimana mungkin mau berbicara prestasi dan profesional jika campur tangan ini masih terus terjadi? Atau barangkali sebuah daerah merasa prestisenya terangkat ketika mempunyai klub yang berlaga di divisi utama?
Pro dan kontra mengenai penggunaan dana APBD untuk pembiayaan klub ini juga menjadi topik hangat dan diskusi seru diforum interaktif program Semanggi Suroboyo Radio Kota fm Surabaya pada hari rabu, 31 januari 2007 dari jam 05.00-07.00 wib. Program Semanggi Suroboyo sendiri sejak tahun 2004 konsisten mengulas catatan dan informasi seputar sepakbola baik luar negeri maupun dalam negeri. Nah, dari program interaktif ini dapat di ketahui begitu banyak pendengar penikmat bola yang antusias memberikan dukungan untuk penggunaan dana APBD, maupun juga pendengar yang sepakat klub mendapat suntikan dana APBD namun harus di lakukan audit terhadap klub pasca kompetisi untuk menghindari korupsi. Ada juga pendengar penikmat bola tanah air yang menginginkan klub tetap didanai APBD namun dengan ketentuan tidak sebesar yang diterima klub saat ini, dan klub diharuskan dapat mencari dana sponsor.
Lebih ekstrim lagi ada pendengar yang bergabung melalui sms maupun telepon yang mengatakan mestinya klub tidak lagi mendapat kucuran dana dari APBD atau kalau perlu kompetisi dihentikan untuk sementara sambil menanti kejelasan dan dilakukan pembenahan pada induk organisasi sepak bola yakni PSSI. Tidak sedikit sms yang mengusulkan lebih baik dana tersebut di alokasikan untuk pos kesejahteraan dan pendidikan warga, atau kalau klub tetap menggunakan dana APBD dikatakan sudah semestinya ketika kita menyaksikan pertandingan sepakbola di stadion ya nggak usah bayar wong kita juga bayar pajak yang notabene merupakan sumber APBD. Atau kalau memang pemerintah menganggarkan dana untuk olah raga lebih baik dianggarkan untuk olahraga selain sepakbola yang prestasinya lebih bagus ketimbang sepakbola. Sementara itu penelpon lainnya justru mengusulkan mestinya anggaran itu untuk tim-tim amatir yang nyata-nyata tidak berkompetisi di arena professional. Kalau mereka mereka berani menyebut dirinya klub yang profesional yaa, wajar dong kalau mereka membiayai sendiri dan tidak bergantung terus pada APBD.
Perlukah kompetisi liga Indonesia dihentikan? Sangat sulit dijawab, saya yakin orang yang tidak suka dan tidak peduli dengan sepakbola pasti bilang lebih baik tidak ada kompetisi jika selama ini kompetisi hanya begitu-begitu saja dan hanya bisa dinikmati segelintir orang. Selesai sampai disitukah permasalahan? Saya rasa tidak. Para pecinta dan pemerhati bola pasti akan memperjuangkan agar kompetisi tetap dilangsungkan. Belum lagi ketika kompetisi benar-benar di hentikan, ada berapa banyak orang yang menggantungkan kehidupannya dari sepakbola, pelatih, pemain, wasit, pedagang, tukang parkir dan lain-lain termasuk keluarganya, belum lagi masalah supporter. Akankah kita membunuh kegairahan supporter yang sudah sedemikian rupa? Hal yang sangat di sayangkan tentunya. Percaya atau tidak sepakbola telah menyublim dalam kehidupan sehari-hari. Apakah kita akan membunuh mimpi anak-anak kita yang belum menjadi kenyataan, ketika mereka dengan rajin sepulang sekolah berlatih sepakbola di SSB? Tapi ternyata kompetisi dihentikan, kalau begitu buat apa capek-capek berlatih.
Pada intinya kompetisi liga Indonesia harus tetap berjalan dengan segala konsekwensinya. Apalagi setelah PSSI dan BLI merencanakan bakal menggulirkan liga super ditahun 2008. Di arena super liga sebanyak 18 klub bakal berkompetisi untuk menjadi yang terbaik. Tidak peduli klub tersebut berasal dari ujung paling barat pulau Sumatra maupun klub yang berasal dari ujung paling timur pulau Papua wajib menjalani kompetisi dalam satu wilayah dan mereka harus saling bertemu. Wah, kalau begitu lebih banyak lagi dong dana yang akan dikeluarkan masing-masing klub? Kenyataannya demikian dan inilah permasalahan yang harus segera diselesaikan oleh calon klub peserta super liga.
Jika selama ini klub selalu terbuai sokongan dana APBD, mau tidak mau menyongsong gelaran liga super 2008 klub harus mulai berpikir dan bekerja keras untuk mencari dana, meskipun pemerintah juga harus tetap bijak untuk memberikan kemudahan dan bantuan dana demi kesinambungan kehidupan klub sepak bola. Bukankah UU Nomor 03 tahun 2005 mendukung APBD mengalokasikan dana untuk keolahragaan nasional. Disebutkan dalam undang-undang Nomor 03/2005 pasal 69 ayat 1 bahwa Pendanaan keolahragaan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Di ayat 2 dijelaskan, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran keolahragaan melalui APBN dan APBD.(detik.com tanggal 30 januari 2007).
Upaya paling logis adalah mencari dana melalui sponsor, hanya masalahnya ketika klub sudah berupaya untuk mencari sponsor ternyata justru pihak sponsor yang nampaknya enggan untuk menginvestasikan dananya pada klub sepak bola. Nah kenapa sponsor tidak berminat pada sepakbola? ini juga harus segera dijawab para pengelola klub sepakbola. Jika dirunut sebenarnya ada beberapa hal yang membuat sepakbola tidak diminati pihak sponsorship. Dimanapun para pengusaha atau pemilik modal selalu berorientasi pada uang. Ketika seorang pengusaha menginvestasikan uangnya mau tidak mau juga harus diakui bahwa pengusaha tersebut berupaya untuk mengembangkan modal yang ditanamkan. Apakah ada seorang pengusaha yang menanamkan modalnya pada proyek yang merugi terus?
Dari rangkaian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa aspek yang memengaruhi kenapa pihak pemilik modal tidak mau menanamkan modalnya pada klub sepakbola? Yang pertama, selama ini Manajemen klub tidak tertata secara professional meskipun mereka selalu mengatakan bahwa mereka adalah klub yang profesional. Sedikit sekali dari klub yang mencoba untuk membenahi sistem manajerialnya. Apalagi membenahi infrastrukturnya, berapa banyak stadion yang layak untuk menggelar kompetisi jika kita mengacu pada standar yang baru diterapkan oleh BLI untuk menggelar superliga.
Ketika banyak klub saat ini mulai berpikir untuk mencari keuntungan, ternyata pihak klub justru masih kebingungan bagaimana cara mencari dan menciptakan peluang untuk mendapatkan keuntungan. Mereka belum berpikir bagaimana caranya klub bisa mendatangkan duit dari menjual saham kepada publik atau merchandiser klub. Jujur harus kita akui sulitlah kiranya jika klub selalu bersandar pada dana APBD yang merupakan uang rakyat yang juga harus dikembalikan kepada rakyat pembayar pajak demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Betapa kita juga harus ingat masih banyak permasalahan rakyat yang juga membutuhkan dana yang tidak sedikit. Terakhir yang juga penting kompetisi liga Indonesia harus tetap digulirkan apapun konsekwensinya, demi kemajuan prestasi sepakbola dan olahraga tanah air. Bukankah Presiden SBY juga mengatakan bahwa kehormatan bangsa di mata internasional juga bisa diraih melalui pencapaian tinggi prestasi olahraga. Yang paling penting pemutar roda kompetisi dan pengelola klub sepakbola harus orang yang arif dan tidak hanya mementingkan keejahteraan diri sendiri dan teman-temannya. Tetap semangat untuk sepakbola dalam negeri.

Lanjut......
 

MENU UTAMA: